“Please don't sent me out alone, not in the darkness on my own...”
‡‡‡∫∫∫≈≈≈≈∞∞∞≈≈≈∫∫∫‡‡‡
Pernah nonton Les Miserables? Maka kamu akan ngerti arti kebebasan. Pernah berbuat salah? Maka kamu akan ngerti artinya penebusan. Pernahkah kamu sayang orang lain? Maka kamu akan belajar menyayangi diri sendiri.
Semua orang pasti pernah salah, anyway. Pertanyaannya, akankah kamu belajar dari kesalahan itu, atau engga? Sesalah apapun orang itu, dia layak di kasih kesempatan. Selalu ada hal baik, bahkan di hati orang paling jahat sekalipun.
Jam
menunjukkan pukul 10 malam. Kau harus pulang. Di pertengahan jalan, hujan turun
deras. Pilihanmu adalah berteduh atau menerabas hujan. Berteduh artinya harus pulang
terlambat. Kau putuskan untuk terus melaju. Karena hari sudah malam, kau
terburu-buru mengendarai sepeda motormu. Hujan pun mengeroyokmu lebih keras.
Matamu sakit karena terkena tusukan jarum-jarum rintik air, dan engkau pun melambatkan
lajumu takut terpeleset. Serbuan hujan tak lagi sederas sebelumnya.
Pelajaran
Semakin kencang
kamu berlari meraih impianmu, makin banyak masalah yang menusukmu. Jika engkau terpeleset
jatuh, rasanya akan sangat menyakitkan. Mungkin nyawamu akan jadi taruhan. Namun
ketika engkau berhasil, kau akan menjadi orang besar. Masalah membawa lebih
banyak pengalaman untukmu.
Semakin
pelan kamu berlari meraih impianmu, makin sedikit masalah yang akan menusukmu. Jika
engkau terpeleset jatuh, sakitmu tak seberapa. Mungkin sedikit cedera. Namun
ketika engkau berhasil, mungkin kau akan jadi orang biasa saja. Masalahmu lebih
sedikit, maka demikian pula pengalamanmu.
Pilihan yang
mana? Semua tergantung padamu.
Aku pengen
bilang, aku selalu parno kalo ngga ada ayah. Misal, saat ke kamar mandi
malem-malem. Kalo ada ayah, aku ngga perlu pake senter untuk ke kamar mandi, ngga
perlu nyalain lampu ruang makan (karena kalo mau ke kamar mandi, harus
ngelewatin ruang makan). Tapi kalo ngga ada ayah, misal ayah lagi kerja malem,
aku bakal siapin senter di samping tempat tidur, jaga-jaga kalo mau pipis.
Pokoknya, aku jadi penakut.
Contoh
lain, sewaktu pake jaketnya ayah. Pas dipake, aku selalu ngerasa aman, dan saat
dilepas aku ngerasa ngga nyaman lagi. Aku butuh ayah.
Terlepas
dari apapun yang aku omongin kalo lagi bareng ayah.
Yah, saya
adalah penggemar serial Opa Bowden satu ini – penggemar berat, malah. Saya
menyukai game dan filmnya; dan benar-benar menyukai novelnya. Buku-buku
sebelumnya sarat dengan pembunuhan (yang ngga sadis-sadis amat), tapi tidak
membuat saya mual. Tidak seperti di novel-novel horror yang (seringnya) membuat
saya ingin muntah. Bagaimanapun, pembunuhan bukanlah sesuatu yang patut 'dibanggakan'.
Tapi saya tetep sukaaaaaaaaa.
Membaca terjemahan novel
Assassin's Creed Unity yang baru saja rilis Januari 2017 kemarin, membuat saya –
mau tak mau – flashback ke pelajaran
sejarah saya mengenai Revolusi Prancis. Jika di buku sejarah dijelaskan gambaran
umum mengenai revolusi Prancis (yang secara tidak langsung ikut berperan dalam perkembangan
berbagai negara, anyway); novel ini memberikan gambaran yang lebih mendetail. Fyi, saya baru menamatkan film Les
Miserables kemarin malam; dan setidaknya saya benar-benar bersyukur tidak
dilahirkan di jaman tersebut. Harus saya akui, era di mana kita hidup sekarang lebih
bermartabat – sekaligus lebih menyeramkan. Jika di jaman mereka, tinggal bunuh
orang yang bersangkutan dan selesai; well, sekarang (seperti yang dibilang ayah),
"ngga kayak gitu lagi".
Ada Elise
de La Serre, gadis cantik yang jago berpedang; Arno Dorian, yah, silahkan baca novelnya
untuk tau siapa dia – saya tidak mau disumpahi karena dituduh spoiler; terus
Mr. Weatherall (yang suka banget pake kata 'banget').
Nah, Mr. Weatherall – mau tak mau – ini membuat saya teringat Severus Snape,
tapi dengan kondisi yang lebih 'ekstrim'. Lalu ada Papa Edward Kenway (omegot)
yang sempet disebut-sebut dalam novel ini dan bikin histeris. (Iya, si bajak
laut sekaligus Assassin, dan ya, saya ngefans banget sama beliau! Saya inget
salah satu soal di ujian SBMPTN saya, yang pertanyaannya kurang lebih gini,
"Siapa pelaut yang pertama kali menemukan Amerika?" Dan tebak. Edward
Kenway masuk ke dalam pilihannya! Astaga. Haha. Saya tentu pilih jawaban itu,
karena ngga tau jawaban yang lain. Di waktu selanjutnya saya tau kalo yang
nemuin Amerika adalah Christopher Columbus. Hadeh. I beg your pardon.)
Membaca
buku ini berhasil memompa adrenalin, seakan saya sungguhan terlibat dalam
pertarungan di dalamnya. Benar-benar perasaan yang menyenangkan. Kita juga
diajak untuk mengingat kembali kehidupan masyarakat di Prancis sebelum revolusi,
kehidupan kaum bangsawan pada masa itu, dan betapa gembiranya saya saat Raja Louis XVI dipenggal. (Rasanya seperti menyelami
sejarah kelam manusia agar bisa sampai pada masa kita saat ini. Tanpa mereka, jika
kita kurang beruntung untuk dilahirkan di kalangan pejabat, mungkin nasib kita
juga akan berakhir di selokan. See? Matahari
pun bakal terbit sesudah badai).
Ada hal yang
mengusik saat menamatkan novel ini. Perbedaan. Yang membuat saya bergidik ngeri
adalah harga yang harus dibayar untuk menyatukan perbedaan. Assassin dan Templar,
dua ordo kuno yang sama tuanya, dan ribuan nyawa yang hilang dalam perseteruan
abadi kedua pihak. Maksudku, iya yang berseteru adalah pihak Assassin dan Templar,
tapi, Demi Jenggot Merlin, kenapa pihak yang ngga ada sangkut pautnya malah
jadi korban? Siapa yang ngga capek, coba? Ke kanan hilang tangan, ke kiri
hilang kaki, di tengah-tengah sama saja cari mati.
Tapi di
masa yang suram tersebut, kita diajarkan arti kesetiaan, arti perjuangan, arti
cinta. Hal yang bisa mentransendensi segala macam perbedaan. Seperti di kehidupan
kita, sahabat-sahabat terbaik selalu datang pada saat yang sulit, menemani kita
menemukan tujuan hidup lagi. Dan saya sedih, my dear fellow. Akhir yang
tak terduga, dan perjuangan yang bahkan belum selesai.
After
all, terlepas dari ketikan
yang tidak rapih dan pengulangan serta kehilangan kata yang sungguh mengganggu –
oh, saya bener-bener berharap cetakan selanjutnya jauh lebih baik dari ini –
buku ini berhasil membuat perasaan saya hampa. Hampa karena penyesalan, hampa
karena kehilangan.
Biasanya,
saya selalu memberikan rate lima bintang untuk novel-novel Assassin's Creed.
Tapi, kali ini, yah, sedikit turun. Bukan dari segi cerita, sih. Lebih ke
penerjemahan dan penulisan. Rate empat bintang untuk Unity ini ^_^ (prokprok).
Eh, saya sebenernya
selalu bertanya-tanya tentang novel ini. Apakah orang-orang seperti mereka
diajarkan untuk mengatasi rasa takut, atau rasa kemanusiaannya mulai berkurang
seiring perjalanan waktu? (Apasih ini).
Pokoknya, I
can't wait for the next book!
RECOMMENDED
Alkisah, ada
seseorang yang bertanya kepada orang lain tentang sebuah pertanyaan. Di hari berikutnya, ia menanyakan hal yang
sama kepada orang lain. Demikian di hari-hari berikutnya, ia terus melakukan hal
itu sampai sepuluh kali. Kita anggap namanya Apel.
Lalu ada
orang lain yang memperhatikan tingkah laku si Apel. Sebut saja Jeruk. Ia merasa
dirinya lebih unggul, lalu ia berkata kepada Apel, "Hei Apel, apa yang kau
maksudkan dengan bertanya kepada orang-orang dengan pertanyaan yang sama?
Apakah kau tak bisa mengerti satu jawaban pun dan terus bertanya? Apa kau ini idiot?"
Si Apel
menjawab dengan santai, "Aku hanya ingin tahu berapa banyak jawaban yang
bisa muncul dari sebuah pertanyaan. Pada akhirnya aku tau bahwa tidak ada
kebenaran mutlak pada diri manusia".
Kenapa Albert
Einstein jadi seorang ilmuwan?
Kenapa George
Washington jadi seorang negarawan?
Kenapa
Sidharta Gautama jadi guru spuritual padahal dia adalah pangeran yang
bergelimangan harta?
Kenapa
Adolf Hitler jadi pemimpin nazi?
Kenapa ada
orang yang jadi mahasiswa padahal mereka bisa belajar lebih banyak dari
pengalaman?
Karena mereka
'memilih'.
Ada
beberapa orang di dunia ini yang memilih untuk pura-pura bodoh daripada di
anggap sok pintar. Lalu ada orang lain yang sengaja bertingkah gila agar tahu
apa itu waras. Ada orang yang bertanya terus-menerus kepada orang lain dengan pertnyaan
serupa supaya kelihatan bodoh, padahal hanya ingin tahu jawaban yang berbeda.
Ada yang pura diam agar dicap sudah mengerti segalanya. Ada orang yang
terus-menerus berbicara agar dikira orang pintar padahal otaknya kosong seperti
tong melompong.
Kenapa sih
ada yang mau jadi orang lain? Kenapa sih takut jadi diri sendiri? Mereka pada pake
topeng. Mau ke mana-mana pake topeng. Mungkin lagi trend, ya.
Tapi tetep aja
aku ngerti.
Di sini lagi
musimnya sakit mata. Mama sakit mata. Anak tetangga sakit mata. Sewaktu ke
Puskesmas juga ada anak yang sakit mata. Pokoknya musim sakit mata.
Jadi, aku anter
mama ke Puskesmas. Di sana, aku ketemu sama guru-guruku sewaktu SMA. Ternyata,
ada guruku yang muntah-muntah terus di bawa ke Puskesmas. Guruku itu
muntah-muntah banyak banget. Dan pasien-pasien yang lain di pindahin ke ruang
lain karena ruang yang biasa dipake penuh cairan muntah.
Pokoknya, di situ
aku ketemu guru-guruku dulu. Aku sih biasa aja, salaman sama mereka waktu
dateng, dan salaman lagi waktu pulang. Nah waktu mau pulang ini masalahku
muncul.
Ada satu orang
guruku, perempuan. Sebut aja namanya Miss A. Nah, Miss A ini nanyain kuliahku
gimana, akun fbku masih aktif apa engga, dan nanyain aku masih simpen nomornya
dia engga. Yang terakhir ini, aku jawab engga, soalnya nomor-nomor yang ada di
kontak udah aku update semua dan banyak nomor yang ilang. Terusan dia minta
(eh, atau aku ya? Lupa) supaya aku catet nomornya. Miss A juga nanya aku pake
bbm engga. Engga, jawabku. Aku pakenya Line. Ya, terusan dia bilang untuk
tambah temen di line. Habis itu aku pulang karena mama udah selesai periksain
mata.
Nah, ini sih hal
sepele. Ngga keliatan masalahnya di mana kan?
Oke. Jadi waktu
SMA aku pernah keluar-masuk BK. Dan guru-guru sering kasih petuah supaya aku
jadi anak baik. Well, biasa sih, aku anak sekolahan yang lumayan bandel. Tapi
mereka --guru-guruku-- juga ga kalah bandelnya untuk bawa aku ke jalan yang
bener. Waktu perpisahan, tingkahku udah agak baik sih. Tapi namanya orang tua
kan?
Jadi aku
ngelanjutin kuliah. Aku mulai sadar dan berusaha ngelakuin hal-hal yang bener.
Dan nilai semester pertamaku juga ga bisa dibilang jelek. Udah sedikit
'berubah' ke arah yang baik, gitu.
Lalu aku ketemu
sama guru-guruku kayak yang aku ceritain di atas. Sebelumnya, aku juga beberapa
kali ketemu guruku waktu ambil ijazah di SMA. Tapi ngga ada yang mintain aku
nyimpen nomor mereka, sampe aku ketemu Miss A.
Miss A juga suka
kasih nasehat ke aku. Dan beberapa guru lain. Tapi, ingetanku tentang guru yang
nanyain nomorku selalu berakhir ke sesuatu yang ngga ngenakin. Misal, ortu di
panggil ke sekolah. Dan itu bukan sesuatu yang baik.
Intinya, aku
wanti-wanti kalo ada guru yang nanyain nomorku lagi. Walaupun sekarang, aku
yang disuruh ngehubungin mereka, bukan sebaliknya.
Gimana nanti,
kalo aku kirim pesan ke dia, terus di interogasi? Bukannya benci ditanyain,
tapi aku jengkel kalo ada orang yang interogasi dan malah ngungkit masa laluku.
Ngga mungkin mereka ngga nanya, kan? Namanya orang tua, selalu pengen tau
perkembangan anaknya.
Terus, apa yang
aku takutin? Aku udah berusaha untuk ngerjain hal-hal yang bener sehabis lulus
SMA, dan aku belum masuk ruang BK lagi saat kuliah ini (kalo kampus punya ruang
BK. Aku ngga tau ada kantor semacam itu atau engga di kampusku. Kalau pun ada,
aku harap ngga perlu ke sana lagi). Yang bikin aku kesel adalah kalo orang
bahas masa laluku lagi. Tapi, heiy, saudara-saudaraku yang manis, aku udah
berusaha sebener mungkin! Ngga adil, kan, kalo kesalahanmu diomongin
terus-terusan? Yah, namanya manusia. Tapi (sekali lagi), tingkahku udah
mendingan, lho.
Persetan ah.
Ngapain aku takut? Mungkin mereka bakal seneng dengan perkembanganku, dan
berhenti ngomongin kesalahanku. Oke. Mungkin aku bakal hubungin Miss A.
Hufttt... Ini
akibat musim sakit mata.
Aku baru
selesai baca ulang novel yang judulnya Forrest Gump.
INSPIRING!
Bukunya
tipis, edisi terjemahan cuma sekitar 300 halaman, tapi... Ceritanya bikin orang
yang ngakunya bukan idiot meringis, nangis, jengkel, ketawa sendiri, dan
sediiiiiih sekali. Maksudku, misal kamu hidup 60 tahun, banyak banget
pengalaman dan penghargaan yang kamu punya, dan tiba-tiba kamu disodorin video
yang isinya kilas balik kehidupan kita dalam durasi 1 menit. Rasanya.. Tuhan...
Waktu cepet banget berlalu. Diakhir video kita termangu, mikirin hal apa aja
yang udah kita lakuin, hal-hal yang buruk, hal-hal yang bener, terus diakhir
kehidupan, kamu tau kamu bukan siapa-siapa.
Semuanya cuma
ngalir, dan pergi. Rasanya hidup singkat banget, ya?
Mungkin kita
mikir orang yang dikatain idiot itu ngga sepinter kita. Well, mungkin
pendapatmu bakal berubah sehabis baca novel ini.
Di tulis dari sudut pandang seorang yang 'cacat', buku ini bener-bener memukau. Bagaimana seseorang bisa mencapai kesuksesan dalam hidupnya karena tidak memikirkan kemungkinan lain. Hanya jalani, jalani, dan jalani.
You'll se it works!
RECOMMENDED
Di tulis dari sudut pandang seorang yang 'cacat', buku ini bener-bener memukau. Bagaimana seseorang bisa mencapai kesuksesan dalam hidupnya karena tidak memikirkan kemungkinan lain. Hanya jalani, jalani, dan jalani.
You'll se it works!
RECOMMENDED
Ini cerita
tentang pengalaman kecil saya tadi pagi. Sederhana. Saya bangun jam setengah
delapan pagi, dan matahari hari ini bersinar riang (selama dua hari terakhir,
setiap pagi selalu mendung, panas sedikit saat siang hari, dan kelabu pada sore
hati. Cuaca yang menentramkan untuk tidur siang). Sebenarnya, saya bukanlah seseorang
yang terbiasa bangun siang. Hanya saja, selama beberapa hari terakhir ini, saya
kesulitan tidur di atas jam 10 malam (sepertinya insomnia saya mulai kambuh).
Jadi, daripada berbaring sambil membelalakkan mata menunggu pagi, lebih baik
saya terjaga dan melakukan sesuatu. Jadi yang saya lakukan adalah membuka file-file
lama yang tersimpan dalam harddisk laptop dan mulai membaca untuk pertama
kalinya (serius, saat ini saya sedang di masa transisi ke semester dua, dan
halaman-halaman ini saya simpan ketika saya masih di bangku SMA. Setahun cukup
untuk membuat benda-benda berdebu, jika saja file ini berbentuk kertas). Kurang
lebih lima jam kemudian (sekitar pukul 3 dini hari), mata saya mulai lelah
menatap cahaya buram LCD. Laptop kembali dimatikan, dan saya kembali ke kamar
saya yang tenang. Entah kenapa, sebetik inspirasi menghinggapi pikiran, mendorong
saya untuk menulis suatu catatan (bukan catatan ini, tentunya).
So, goes on.
Hingga terdengar waktu adzan subuh. Setelah beribadah, saya memutuskan untuk tidur,
mengingat mata ini sudah benar-benar tidak bisa diajak berkompromi.
Dan, tada.
Saya bangun kePAGIan.
Astaga. Segera ke kamar mandi untuk membasuh muka, dan mulai mencuci baju (saya
tukang cuci baju di rumah) se-keluarga. Kebetulan, saya melihat ayah yang sedang
memanggul tanki pestisida. Dan sebelum saya benar-benar paham apa yang terjadi,
ayah mulai menyemprotkan cairan bening tersebut kearah rerumputan. Oh my God. Sadar,
saya mulai berbicara dengan nada yang agak 'keras' agar ayah saya menghentikan
perbuatannya. And he won't listen. Saya sedih, dan mulai menangis marah.
Well, mungkin
kamu yang sedang membaca curhatan ini akan berpikir sambil mengerutkan kening.
Segitunya kah? Nah, jawabannya ya dan tidak. Ya, karena memang segitunya, dan
tidak, karena ini bukan seperti yang kamu kira.
Ini bukan
hanya masalah rerumputan yang tumbuh liar di halaman rumah saya. Selama liburan
panjang semester ini, saya melakukan yang terbaik untuk mulai 'memangkas'
rumput yang ada. Hanya sejam atau dua jam perhari, sih. Tapi halaman saya luas,
dan ketika saya tiba di sisi halaman pojok, rerumputan mulai tumbuh lagi di
sisi halaman yang lain. Menyebalkan, memang. Tapi saya melakukan yang terbaik
yang saya bisa untuk menjaga kebersihan di halaman saya, dan tidak melakukan
apapun yang bisa mengurangi kesuburan tanah. Ini salah satu penyebab saya menangis.
Terlebih, ada bibit bunga yang saya biarkan tumbuh di halaman, agar, ketika
tanaman itu sudah cukup besar, saya bisa memindahkannya ke lahan sebenarnya
(bisa dianggap kayak persemaian bibit).
Namun, ketika
ayah saya tanpa pandang bulu membasmi tanaman-tanaman yang ada, saya sedih. Sedih,
sesedih-sedihnya. Dan saat itu, kalo boleh jujur, saya mengharapkan beliau mati
saja (sungguh, maafkan saya. Mungkin saya harus belajar untuk mengontrol
keingingan mengerikan saya). Bukan hanya masalah bunga saya yang mati. Bukan
hanya masalah kesuburan tanah yang terkikis dan lama-kelamaan gersang. Serius, ini
bukan cuma tentang itu.
Kalian tahu
bahwa DTT adalah bahan kimia yang bereaksi keras terhadap lingkungan? Nah,
ketika musim penghujan seperti saat ini, zat kimia tersebut tidak langsung masuk
ke dalam tumbuhan, karena terbawa air hujan. Zat kimia yang mengalir tersebut
pasti akan bermuara di suatu tempat, kan? Entah itu danau, rawa, ataupun laut.
Tapi apapun muaranya, zat kimia akan mengendap di muara tersebut, mencemari air,
dan membunuh spesies yang hidup di tempat tersebut. Dalam hal ini, adalah rawa.
Kecil sih. Ngga ada apa-apanya dibandingkan rawa-rawa di hutan Amazon (ya iyalah!
Suci ndableg). Dan ketika saya ke sana, saya merasakan kesedihan yang luar
biasa, melihat air di rawa tersebut berwarna kekuningan diendapi busa yang
berwarna senada. Ciri khas lingkungan yang tercemar. Dan bukan cuma itu. Ikan-ikan
kecil mengapung di atas lumpur, mati. Dan teratai yang berwarna kusam. Pertanda
mulai terganggunya ekosistem di alam.
Ini hanyalah
bagian kecil dari pencemaran yang lebih besar. Ini memang hal kecil, tapi
bukannya sesuatu yang besar selalu diawali oleh hal-hal kecil?
Kembali saya
memikirkan ekistensi murni spesies saya di muka bumi ini. Bukankah kami diturunkan
ke sini untuk menjaga alam dan isinya? Menjaga ekuilibrum bumi dalam keadaan
yang seimbang? Keadaan yang memungkinkan untuk berlangsungnya kehidupan? Saya
kecewa, kawan. Saya kecewa. Kecewa akan hal yang tidak bisa saya cegah, padahal
baru di tingkat keluarga. Saya kecewa karena tidak bisa melakukan sesuatu yang
cukup berarti bagi kehidupan. Saya mengutuki diri saya; mengutuki kepengecutan
saya, merutuki diri saya yang tak mampu melakukan apa-apa. Saya sedih, kawan.
Semoga kamu,
yang membaca tulisan ini, belum kehilangan kesadaranmu. Untuk peka pada
sekelilingmu. Untuk menemukan arti hadirmu bagi kehidupan.
Aku suka ngeliatin temen main game Assassin's Creed. Tapi
berhubung aku selalu pening ketika main sendiri, maka aku putuskan untuk baca
novelnya.
Assassin's Creed versi novel ditulis sama Papa Bowden
yang juga suka mainin AC. Aku suka tulisannya. Feel-nya dapet. Novel AC yang pertama aku baca yang Brotherhood,
dilanjutin Black Flag (tapi belum selesai sampe sekarang, ngga punya bukunya),
dan Unity. Nah, Unity adalah novel AC yang baru diterjemahin dan rilis di Indonesia
bulan Januari lalu. Aku ikutan pre order, dapet bonus gelang deh :D (abaikan)
Di Unity, tujuan Assassin dan Templar itu sama, yaitu
membuat dunia yang lebih 'adem ayem'. Tapi mereka punya cara masing-masing
untuk ngeraihnya. Sayangnya, cara mereka bertolak belakang (banget). Nah di sini,
ada seorang mama, istri dari petinggi Templar, yang pengen suapaya Assassin dan
Templar bersatu, toh, tujuannya sama. Sayang dia ninggal duluan karena sakit.
Tapi, dia bukan orang pertama yang mikirin gagasan itu. Ada pendahulunya, dan
si pendahulunya juga dari Ksatria Templar.
Ujung-ujungnya, orang yang punya pemikiran kayak gitu
pada di bunuh. Aku ngga tau kenapa. Padahal, kalo dunia mereka bersatu, the world could be a better place kan?
Nah itu deh. Ujung-ujungnya aku mikirin penjumlahan
matematika.
4+5=9
3+6=9
Hasilnya sama kan? Meski angka awalnya beda. Tapi aku
mikir hal lain lagi, kayak agama. Agama di bumi kan banyak tuh, tapi meskipun
beda adat ibadahnya, beda kitabnya, tapi semua agama bawa orang menuju
kebaikan, kan? Kenapa ngga bisa nyatu? Padahal, orang baik menurut aku ngga
selalu harus dari agama tertentu, soalnya banyak orang yang agamanya beda tapi
baik banget. Dan sering juga, agama yang dianggap paling baik malah ngehasilin
orang jahat. Tapi menurutku, sekali lagi, orang baik itu ga ditentuin dari
agama mereka. Baik asalnya dari hati. Hasrat untuk berbuat baik.
Tapi kenapa sih masih banyak kekacauan di mana-mana
karena masalah agama? Aku ngga ngerti.